Jumat, 01 Agustus 2008

Apakah Pendidikan mejadi Panglima di negara kita? (bagian1)

Ide membuat tulisan ini saya dapat dari hasil saya menjelajahi blog. Dalam sebuah blog yang dimiliki oleh Bapak Arsyad, kepsek SMPN 4 Mtp, mata saya tertuju pada tulisan besar yang terpampang, sebuah pertanyaan yang membuat saya berkerut kening untuk berpikir dan mengingat-ngingat. Beliau bilang, untuk menjawab pertanyaan itu perlu kebesaran hati. Isi pertanyaannya itulah yang menjadi headline tulisan ini.
Saya beranikan diri untuk mengjawab pertanyaan tersebut dengan pengetahuan dan pengalaman yang saya punya. Mau tidak mau, pada akhirnya saya harus menjawab dengan berat hati, pendidikan BELUM menjadi panglima di Indonesia. Bukannya saya pesimis, justru dengan menjawab belum, berarti saya optimis bahwa suatu saat kata belum itu akan berubah menjadi lawan katanya yaitu SUDAH. Beda maknanya kalau saya menjawab TIDAK.
Setahu saya, dalam kepangkatan militer, panglima adalah pangkat tertinggi, artinya yang paling dihormati, paling disegani, paling diutamakan, paling dipertimbangkan, dan paling-paling lainnya. Maka jika pendidikan menjadi panglima, artinya idealnya pendidikan memenuhi kriteria paling-paling tersebut. Sekarang kita lihat bagaimana kondisi pendidikan di negara kita.
Pertama, saya ingin meninjau dari segi penghargaan pemerintah dan masyarakat terhadap pendidikan. Ternyata Pendidikan belum mendapat kepercayaan dari pemerintah untuk menjadi dasar dalam pembangunan nasional, begitu juga masyarakat. hal ini terbukti dari kenyataan bahwa pemerintah tidak begitu mempercayakan "pengelolaan" negara kepada orang-orang yang berpendidikan. Dengan kata lain, orang yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi, bergelar profesor bahkan lulusan luar negeri sekalipun ternyata tidak menjamin dia bisa duduk dipemerintahan. Pemerintah lebih memandang unsur koneksi atau kemampuan loby atau keaktifan di parpol untuk bisa menduduki suatu jabatan strategis yang berpengaruh terhadap nasib bangsa. Begitu juga dalam hal penghargaan masyarakat, pendidikan dianggap hanya suatu kewajiban bukan merupakan kebutuhan. Bahkan saya sempat miris ketika membaca sebuah promosi seminar yang dengan bangganya menuliskan bahwa keberhasilan orang yang menjadi pembicara hanyalah tamatan SMA, ini jelas menjadi "black campaign" bagi pendidikan kita. (bersambung)


Tidak ada komentar: